Kamis, 09 Desember 2010

Ia Selalu Ada Untuk Kita

Setiap hari adalah hari yang luar biasa, bukan hanya setiap hari, bahkan setiap detik merupakan detik-detik yang luar biasa. Dengan keluar biasaan tersebut, sudah selayaknya diri kita mampu memanfaatkan setiap putaran waktu yang diamanahkan kepada kita.

Kali ini, teras depan rumah yang diramaikan oleh bunga-bunga mawar merah, diiringi desiran angin serta dipadukan dengan kesunyian sepertiga malam seolah menjadi sebuah saksi bersejarah dalam hidupku. Sebuah saksi tergoresnya tinta kehidupan. Sebuah saksi yang menjadi tempat perenungan bagi seorang hamba yang lemah, seorang hamba yang selalu mengharap pertolongan Sang Pemberi Pertolongan dalam setiap derap langkahnya.

Dikeheningan ini, ingatan kembali berputar pada sebuah adegan kehidupan yang di alami. Kejadian-kejadian yang selalu menjadi sumber motivasi untuk selalu lebih mendekatkan diri kepada Allah. Subhanallah…..itulah sebuah kata yang pertama kali ku tulis untuk menceritakan kejadian tersebut. Kucoba mengurai cerita, memutar kembali ingatan dimana ketika usiaku akan menginjak usia yang ke 20 tahun. Maret.. bulan yang menjadi awal dimana saya diberi kesempatan oleh Allah untuk berpetualang di dunia ini. Tepatnya dibulan Maret 2009. Ada sebuah momen yang semakin meningkatkan keyakinan akan pertolongan Allah.

Pada bulan Maret 2009 Allah menyampaikan pesan kasih sayang-Nya melalui kejadian-kejadian luar biasa yang bisa menyadarkan kelalaian serta membangunkan diri ini dari cengkraman kemalasan. Dan tidak luput juga kejadian yang begitu dahsyat yang bisa membangkitkan semangat untuk terus berjuang dalam barisan da'wah ini. Sebagai bukti syukur kepada Allah.

Awalnya pada tanggal 9 Maret 2009. Sebuah hari dimana akan kembali menjadi sebuah permulaan yang menyenangkan karena merupakan hari pertama masuk kuliah setelah liburan panjang yang dilalui. Sebuah hari dimana akan kembali bercengkrama dengan sahabat-sahabat yang selalu menjadi sumber inspirasi.

Seperti biasa, kegiatan belajar belum dimulai. Acara pada hari itu adalah “Dauroh Ta’rifiyyah” (Dauroh Perkenalan) bagi para mahasiswa baru. Karena saat itu aku menjadi salah satu anggota BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), aku dan sahabat di BEM lainnya berkesempatan menjadi panitia untuk kegiatan tersebut.

Dalam acara tersebut ada bagian dari sesi acara yang sangat dinanti terutama oleh diriku pribadi. Dimana ada kunjungan alumni lulusan Al-Azhar Mesir yang dulunya merupakan mahasiswa di kampusku tercinta (Ma’had Al-Imarat) ini. Beliaupun berbagi tentang perjuangannya dalam menuntut ilmu di Mesir.

Beliau menceritakan sebuah perjuangan luar biasa seorang Yahya Al Andalusia dalam menuntut ilmu. Sebuah perjalanan dari Andalusia menuju Madinah untuk belajar kepada Imam Malik yang waktu itu sangat tersohor. Dengan kegigihannya dalam menuntut ilmu, setiap hari ia selalu mengikuti kajian dari Imam Malik.

Hingga pada suatu hari dimana dia sedang menghadiri kajian dari Imam Malik.

“Al-fill..al-fill..al-fill….”. teriakan orang-orang diluar masjid.

Semua orang yang mengikuti kajian itu langsung berhamburan lari keluar untuk melihat Al-Fill (gajah) dimana merupakan hewan yang langka di Madinah. Semuanya berhamburan keluar kecuali Imam Malik dan Yahya Al-Andalusia yang masih tetap pada posisinya.

“Kenapa kamu tidak keluar untuk melihat gajah?” tanya Imam Malik bertanya kepada Yahya Al-Andalusia.

“Saya datang dari Andalusia ke Madinah untuk menuntut ilmu bukan untuk melihat gajah” jawab Yahya dengan tegas.

Potongan kisah yang memperlihatkan perjuangan seorang anak jaman dalam pencarian ilmu. Jarak tidak menjadi penghalang bagi dirinya untuk menuntut ilmu. Seberkas cahaya yang telah dilukiskan dilangit luas guna dipahami oleh para pencari ilmu di generasi selanjutnya.

Setelah mendengar cerita itu, semangatku untuk menuntut ilmu ke Timur Tengah semakin memuncak. Uthlubu ilma minal mahdi ilal lahdi.. Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat.

………………………………..

Beberapa hari setelahnya, tepatnya pada tgl 12Maret 2009 menjadi hari yang cukup berat bagiku. Pada hari itu rasanya sangat malas sekali untuk berangkat kuliah. Tubuh lemas terkulai tanpa tenaga. Mungkin raga ini masih meminta haknya dikarenakan semalaman tidak tidur mengerjakan amanah dari organisasi. Tapi aku teringat dengan cerita perjuangan Yahya dalam menuntut ilmu. Aku bangun dari tempat tidur, seolah ada energi besar yang menarik untuk terbangun.

Karena didorong motivasi itu, akhirnya aku memutuskan untuk berangkat kuliah. Melihat keadaanku yang kurang fit, mamah pun memberi saran untuk tidak masuk kuliah dan beristirahat di rumah. Tapi kuputuskan untuk tetap berangkat.

“ Hati-hati dijalan, terus ingat Allah yah…” pesan mamah disertai senyuman kasih sayangnya

Singkat cerita.... ketika baru saja turun dari angkot tepatnya di samping lapangan yang tidak terlalu jauh dari kampusku, ada seseorang yang menyapa dan mengajak untuk berbincang-bincang. Awalnya dia menanyakan sebuah alamat jalan. Tapi lama kelamaan dia menodongkan sebuah pisau belati ke bagian perutku. Ia meminta uang dan barang yang kubawa saat itu.

Dengan refleks, aku menangkisnya. Ketika ku berbalik akan memukulnya… ternyata tanganku sudah dipegang dari belakang. Tanganku sudah dipegang oleh teman-temannya yang lain. Dengan cepat mereka mengelilingiku. Jumlahnya sekitar 6 orang yang mengelilingi. Akhirnya oleh ke 6 orang itu aku dibawa ke dalam lapangan yang sangat sepi saat itu.

Disana semua barang milikku digeledah serta mereka mengambilnya dengan paksa. Yang mereka ambil itu awalnya handphone dan dompet. Saat itu semua uang yang ada dalam dompet saya sekitar 400 ribu rupiah. Uang jajan yang ditabung selama beberapa bulan terakhir untuk membeli buku pelajaran saat itu.

Sepi…. sunyi… senyap…. Tidak ada seorang pun yang lewat untuk membantu. Terdiam dan terpaku dalam kekhawatiran. Terdiam dalam kesepian ini. Terdiam dalam kesendirian ini. Termakan oleh kecemasan yang diri ini hadirkan. Tidak ada tempat mengadu selain kepada Sang Penguasa yang memiliki diri ini. Hanya untaian doa pengharapan yang hadir disetiap detiknya.

Sekitar 30 menit telah berlalu dan aku masih di “tahan” oleh mereka. Selama itu pula mereka menceritakan mengenai kejahatan yang mereka lakukan pada hari itu. Mulai dari merampas tas seorang ibu, merampas kalung anak smp, sampai memukuli seorang pedagang yang pagi itu tidak mau memberi mereka uang.

Di saat itu hanya doa lah yang bisa kupanjatkan. Meminta pertolongan kepada Allah yang tidak pernah lengah mengurusi hamba-Nya.

“Ya Allah…. Tunjukkanlah kekuasaan-Mu, aku yakin pertolongan-Mu itu nyata bagi orang-orang yang percaya…” Sebuah doa terpanjat dalam hatiku.

Akhirnya… Allah mendengar dan langsung menunjukkan kekuasaan-Nya.

“Ribuan langkah kau tapaki…pelosok negeri kau sambangi…tanpa kenal lelah jemu.. sampaikan firman Tuhanmu..” nada sms yang terdengar dari handphoneku yang dipegang salah satu dari mereka.

Dengan cepat ia membaca isi sms itu. Ia terpaku… Sekejap, raut mukanya berubah. Bagai sebuah bara api yang membeku. Ia berpikir sejenak….. Lalu ia suruh salah satu temannya yang badannya paling besar untuk membaca sms itu. Hasilnya sama….. Orang berbadan besar itu hanya terdiam sejuta bahasa. Tak ada gerakan yang ia lakukan. Hanya sorotan matanya mengarah pada diri ini. Sebuah sorotan mata yang kosong dengan sejuta arti.

“Apa yang terjadi ? emangnya apa isi sms itu ?” hati ini bertanya-tanya. Tak bisa kutebak kenapa raut muka mereka tiba-tiba berubah sesaat setelah membaca sms itu….

Tiba-tiba orang berbadan besar itu mengembalikan handphoneku dan menyuruh salah seorang temannya untuk mengambil setengah dari uang yang ada di dompetku. Setelah mereka mengambil 200 ribu dari dompet, dia menyuruh untuk mengembalikan dompet itu. Semua temannya semakin bingung, saling bertatapan, saling berusaha mencoba menjawab apa maksud dari semua itu. Dengan keraguan dompet itupun dikembalikannya kepadaku. Sampai….

“Kenapa dikembalikan lagi ??” Suara yang keluar dari salah satu mulut mereka.

“Takut kualat…dia ustadz…” Jawaban singkat dari orang yang berbadan besar itu.

Mendengar percakapan mereka, diri ini semakin bingung apa sebenarnya yang sedang mereka bicarakan…… Setelah mereka mengembalikan handphone dan dompetku, mereka langsung lari meninggalkanku sendiri. Sendiri dalam kesepian, sendiri dalam kebingunan.

Kurapihkan kembali pakaian, bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke kampus. Ketika akan mulai melangkah menuju kampus, aku teringat dengan sms yang membuat muka mereka berubah. Kulihat pesan yang masuk di handphone. Ada sebuah sms dari no 08565960xxxx

“Aslm,ustadz.. nanti sore bisa mengisi materi ?.........”

“Subahanallah ….” Sebuah kata yang keluar pada saat itu. Aku yakin, inilah pertolongan Allah. Sebuah lapang hijau yang sepi itu pun menjadi saksi nyata sebuah sujud syukur akan pertolongan yang Allah janjikan. Lagi-lagi Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya padaku.

Rabu, 08 Desember 2010

Berubah...

Senin, 06 Desember 2010

Sepenggal Keikhlasan

Penulis : Lina Dewanto

Angin sore yang sungguh menyejukkan. Meskipun ia hadir bersama hujan, namun tiada pantas bila masih saja terlintas ucap keluh kesah dari lisan seorang hamba. Karena, bukankah setiap tetesannya mengandung rahmat?

Ku akhiri sore ini dengan menghadiri halaqoh rutin. Meskipun lumayan jauh tapi karena halaqoh tersebut selalu ku tunggu-tunggu, sulit rasnya bila tak hadir. Memang betul hari ini sejak Sang Surya berada diperpaduan langit, aku sudah pergi kesana kemari. Bila dirasakan lelah, tentu saja sangat lelah. Namun bukanlah suatu alasan yang tepat untuk tidak hadir di majelis dzikir tersebut. Dapat ku bayangkan betapa meruginya bila ku tak hadir. Akan ada materi-materi penting yang tertinggal, akan ada pembinaan ruhiyah yang tak sempurna, dan lainnya. Ah, sungguh merugi!

Ditengah-tengah pembahasan materi tiba-tiba salah seorang temanku bertanya,

”Ustadzah, afwan bagaimana sih proses pernikahn yang sesuai syar’i?”Tanya Nova dengan malu-malu.

”Cie...teh Nova, mencurigakan nih. Ehm..ehm”Godaku

Yang lainpun tak kalah menggoda.

”Wah, Nov sama siapa?Kok nggak pernah cerita-cerita sih!”

”Ah, antunna ini! Aku kan Cuma bertanya!”Ucapnya.

”Yang jelas, tanpa pacaran. Dan hanya melalui proses ta’aruf lalu khitbah kemudian akad, dan walimah jika diperlukan.”Jawab Murobbiyahku

”Hm...saya jadi teringat, karena kalian sebentar lagi lulus kuliah, sebaiknya kalian mempersiapkan perkara tersebut sejak dini”Lanjut murabbiyahku.



Memang benar perkara pernikahan harus disiapkan sejak dini. Karena kita tak pernah tahu kapan proposal nikah itu datang.

Pikiranku pun melayang jauh. Siapakah pendamping hidupku? Apakah sesuai dengan yang selama ini ku harapkan?Seorang ustadz yang tarbiyah san dakwahnya tak perlu diragukan lagi. Ustadz yang mencintai Allah lebih dari apapun. Sehingga ia dapat mencintai diriku sebagai istrinya.

Tak terasa malam kian menjelang. Halaqoh hari ini berkahir dengan sangat syahdu. Perbincangan pernikahan yang sungguh sangat luar biasa dan sangat berarti. Meskipun bagi kebanyakan orang, usia delapan belas tahun intu merupakan usia yang masih jauh dari mahligai pernikahan namun, apa salahnya jika ku mengetahui lebih banyak.

Saat perjalanan pulang tiba-tiba ada seseorang yang mengirimkan sms,

”Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokah.’afwan mengganggu. apakah ukhti ada waktu hari ini? Insya Allah murobbi ana ustadz Ahmad ingin menghubungi ukhti. Syukron”

Ku baca ulang sms yang masuk ke inbox. Perlahan ada yang berdesir di hatiku. Astagfirullahal ’adzhim. Cepat ku hilangkan fikiran andai-andaiku.

”Wa’alaikumsalam Wr Wb. Insya Allah ba’da isya.

Setibanya di rumah, lekas ku ambil air wudhu dan menunaikan shalat maghrib. Tak lupa ku berdo’a memohon ampun karena ku telah berandai-andai. Bagaimana tidak. Keperluan apa yang dimiliki murobbi ikhwan kepada seorang akhwat melainkan.....

Astagfirullah....

Ba’da shalat isya, ku berdoa panjang. Do’a yang kidungnya berharap segala sesuatu merupakan kebaikan. Terus ku pegang erat handphoneku.

Tiba-tiba.....

”Assalamu’alaikum Wr Wb. Maaf apa benar ini dengan Lathifah?”

”Wa’alaikumsalam Wr Wb. Ya betul.”Gugupku

”Maaf sebelumnya mengganggu. Ana mendapatkan amanah dari salah seorang mutarobbi ana yang hendak berta’aruf serius dengan ukhti...............”



Setelah lima belas menit lebih kami usai berbicara, tiba-tiba mama masuk,

”Maafkan mama nak...”Ucap beratnya.

”Mama mendengar pembicaraanmu dengan ustadz tadi. Mama rasa, mama tidak setuju bila kau menikah tahun ini.”

Ada yang ku rasakan berbeda akan kalimatnya tadi. Bukan, bukan kalimat itu yang ku inginkan. Perlahan ada yang berderai di mataku. Mengingatkanku pada tiga tahun lalu, saat sujud malamku, menampung kidung doaku........

”Jikalau berkah umur ini sampai, maka sampaikanlah aku mujahid seperti dia..”

Dan kini tawaran itu berada didepan mata. Saat ini. Saat usiaku masih delapan belas tahun.



Kini ku hanya mampu berdoa, berharap yang terbaik kelak.. Ku resapi apa yang ada dalam hatiku kini dalam Sholat Istikhorohku.

”Ya Rabb, Engkau yang mengetahui isi hati hamba, sungguh sulit menentukan keputusan itu.

Ya Rabb, hamba malu pada Mu, apa benar diri ini pantas?banyak yang belum hamba ketahui...”

Keesokan harinya, aku konsultasikan pada ustadzah Tika. Terutama tentang mimpi dan keyakinan hatiku. Belialulah murobbiyah yang selalu membimbing dan memberikan semangat dalam jalan dakwah ini.

Aku lalui hari ini dengan berdiskusi. Aku terhenyak oleh perkataan murobbiyahku.

”Yang terpenting sekarang, apakah orangtuamu merestui bila kau menikah saat ini Thif?Thifah harus mementingkan perasaan orangtuamu. Meskipun bagimu tak apa bila kehidupan rumah tanggamu kelak sangat sederhana, namun bagi orangtuamu mereka akan menginginkan lelaki yang dapat menggantikan mereka.”

”Dan ambilah keputusan dengan mata hati yang jernih. Buanglah semua atribut yang pernah melekat di benak mu. Sehingga kau lebih mudah dalam mengambil keputusan.”Paparnya.

Subhanallah...saran terakhir dari murobbiyahku adalah untuk membaca buku inspiratif tentang pernikahan dini. Dan tanpa pikir panjang setelah ku pamit dan berterimakasih padanya, bergegas ku beli buku itu. Berani mengambil keputusan, memantapkan hati menerima pinangan di usia muda. Ku berharap dengan membaca pengalaman mbak Evi yang beliau tulis ini, membuat ku tidak ragu dalam melangkah. Segera ku pulang dengan angkutan umum. Tak sabar hati untuk mengetahui pengalaman mbak Evi.

Bismillahirrohmaanirrohiim. Ku buka lembar demi lembar. Baru saja ku sampai pada ’Catatan dari suami’, air mataku mulai meleleh. Ku tak peduli bila supir angkot terheran-heran padaku. Yang penting keharuanku ini tidak mengganggu orng lain. Ku perhatikan makna yang beliau tulis.



”Seorang tidak akan terampil mengemudi mobil hanya dengan keinginan semata. Juru masak tidak akan mahir hanya dengan menghayalkan hidangan lezat. Mereka perlu waktu utnuk belajar dan juga perlu berkorban”



Subhanallah, ku resapi kalimat-kalimat yang tertuang didalamnya. Menghantarkanku pada cermin diri.

Ya Rabb, ampuni hamba karena selalu merasa kurang dan kurang. Padahal pada hakikatnya proses belajar adalah proses yang tiada henti. Begitupun dalam rumah tangga. Bagaimana seorang istri pandai mengurus suami, memasak makanan kesukaannya, menyiapkan pakaian taqwa, pandai mengatur rumah tangga, mendukung tarbiyah dan dakwah suaminya. Itu semua memerlukan proses panjang. Hingga buah hati yang akan menjadi ruh baru dalam umat lahir pun, bukan berarti proses belajar itu terhenti.

Lalu lamunanku menghantarkanku pada orang tuaku. Berkelebat sosok papa dan mama. Mama yang sedang terguncang hatinya akan kepercayaan Papa. Dan Papa yang masih belum bisa meyakinkan Mama bahwa ia akan setia selamanya. Begitu rumit ujian yang sedang mereka hadapi. Apakah jika aku menerima permintaan ta’aruf , berarti aku telah menambah beban pada orangtuaku? Astaghfirullahl’adziim.

Tak terasa angkutan yang ku tumpangi telah sampai di depan komplek. Lekas ku turun dan ku bayar dengan uang pas. Saat hendak masuk komplek, ku melihat pasangan muda yang sedang menggendong anaknya. Terlihat ada binar-binar bahagia di matanya. Kemudian.... Astagfirullahal’adziim

Lekas ku palingkan pandanganku. Aku hawatir jika kemudian aku berhayal hingga hatiku berdesir, dan tumbuh bunga-bunga yang bermekaran bukan pada musimnya.



Bersabarlah hati, adukanlah segalanya pada Sang Pemilik hati manusia. Adukanlah dalam simpuh istikhorohmu. Hingga keresahanmu terobati dengan kemantapan hati.



Tepat ku sampai di rumah saat adzan magrib berkumandang. Segera ku berwudhu dan menunaikan sholat magrib. Aku merasa sholat magrib kali ini adalah sholat yang terasa sangat syahdu. Hingga meneteslah bulir-bulir mata.

”Ya Rabb, ku tak pernah menyangka Kau kabulkan do’aku secepat ini. Do’a sederhana tiga tahun lalu yang ku panjatkan, kau kabulkan kini.

Ya Rabb, tunjukilah aku jalan cinta-Mu agar aku tak sesat dalam mengambil keputusan. Aamiin Ya Robbal’alamiin”

Kulipat mukenaku. Ku tarik nafas panjang. Bismillahirrohmaanirrohiim. Saatnya ku mantapkan kembali keputusan mama. Apakah berubah atau tidak.

Ku beranjak keluar kamar. Ku lihat mama sedang serius menonton berita. Ku dekati ia perlahan dan menyandarkanku pada kakinya, layaknya seorang anak kecil yang sedang bermanja-manja pada mamanya. Tanpa sadar bibirku mengucap pilu

”Ma, apa benar keputusan mama kemarin adalah keputusan terakhir?”

”Nak..” Gumam mama tanpa ekspresi.

”Rasanya, mama belum bisa merestui bila kau menikah tahun ini. Bukan karena yang melamarmu ataupun pilihanmu. Tapi, karena kau belum mempunyai pekerjaan nak..

Mama tidak ingin kau menderita seperti mama. Kehidupan rumah tangga menjadi lebih sulit bila seorang istri tak mempunyai penghasilan. Lagipula, bukankah kau ingin merampungkan ilmu di Timur Tengah dahulu?”

Ku kembali ke kamar dengan gontai. Entah mengapa ada sesuatu yang menyesakkan dada. Semua rasa bercampur aduk.

Astagfirullahal’adziim...

Astagfirullahal’adziim...

Lagi-lagi ku coba pasrahkan apada Illahi saat sholat Isya. Berharap menemukan ketenangan dalam setiap pertanyaan yang tak berkesudahan

Ya Rabb, maengapa harus sekarang?Disaat ku seharusnya membantu merekatkan kembali rumah tangga mama dan papa. Disaat seharusnya aku lebih banyak berkorban untuk mereka...

Selepas sholat Isya, aku sempurnakan doaku dalam sholat istikhoroh lagi.

Ya Allah sesungguhnya aku meminta pilihan yg tepat kepadaMu dengan ilmu pengetahuanMu dan aku mohon kekuasaanMu dengan kemahakuasaanMu. Aku mohon kepadaMu sesuatu dari anugerahMu Yang Maha Agung sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa Engkau mengetahui sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini lebih baik dalam agamaku dan akibatnya terhadap diriku di dunia dan akhirat sukseskanlah untukku mudahkan jalannya kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agama dan dan akibatnya terhadap diriku di dunia dan akhirat kepada diriku maka singkirkan persoalan tersebut dan jauhkan aku daripadanya takdirkan kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada kemudian berilah kerelaan-Mu kepadaku

Ku sudahi dengan kemantapan hati. Kian waktu berjalan aku semakin mengerti doa yang terkabul juga merupakan ujian dari-Nya. Ujian yang pasti aku dapat melewatinya.

Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha...lahaa ma kasabat wa’alaiha maktasabat...



Ku pandangi buku hijau dihadapanku kini. Ada kalimat yang menggugahku.

Berani mengambil keputusan tidak takut gagal. Takut gagal, jangan mengambil keputusan. Takut mengambil keputusan gagal saja!

Kalimat ini membuat ku terhenyak. Mbak Evi memang berani mengambil keputusan untuk menikah dini, dan akupun tak berbeda. Aku berani mengambil keputusan dengan..

Bismillahirrohmaanirrohiim...dengan mengaharap ridho Allah. Saya memutuskan untuk tidak melanjutkan proses tersebut. Karena mama belum merestui dan segala kondisi tentang kuliah dan lainnya. Afwan jiddan. Syukron karena telah memberikan kesempatan pada saya.

Semoga Allah memudahkan segala ikhtiar dan memberikan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat

Ada kelegaan yang ku rasa setelah ku kirimkan sms tersebut pada murobbinya. Betapa Allah telah membuka tabir rahasianya, memberikan nikmat akal, hati, ruh, jasad yang harus digunakan sebaik-baiknya.

Ya Rabb, berikanlah hamba berkah umur, umur dimana hamba dapat memilih yang terpilih yang Engkau pilihkan dan berikanlah hamba keikhlasan selamanya....




***
Note (Semoga bermanfaat. Sekalian bisa belajar bahasa arab juga)
halaqoh : Pengajian rutin
Murobbiyah : Pendidik (Ustadzah)
Muroobi : Pendidik (Ustadz)
’afwan : Maaf
Mutarobbi : Yang dibina oleh Murobbi/murobbiyah

Rabu, 20 Oktober 2010

Bila ku Jenuh!

Jenuh ? Ya, Jenuh ! Perasaan yang tak pernah diharapkan. Akhir-akhir ini membentang bagai dinding tak berpintu berdiri kokoh dihadapanku. Rutinitas ? Tak jelas sudah. Kata orang ini hal biasa. Manusiawi!

Indikasinya? Jadi sok happy lah, padahal sebal dengan diri. Ada yang jadi aneh.. pendiem.. amnesia.. banyak deh.. Hei, bukankah aku ingin jadi LUAR BIASA ?

Padahal seringkali hati ini tidak bisa menerima, bila diri ini pulang ditemani kilau gemintang, dan hanya bisa meluruskan punggung setibanya di rumah. Aktivitas yang biasa dilakoni seakan tak pernah berujung. Memang sih, sebenarnya untuk memenuhi semua kebutuhan ( mungkin sebagian hanya keinginan ). Tentu saja berdampak pada perasaanku, yang merasa tak punya kawan berbagi. Karena kadang banyak yang ingin aku sampaikan, tapi keluarga sudah berselimutkan malam. Atau sahabat sudahlah terlalu lelah. Aku jenuh!

Tapi aku sangat bersyukur pada Yang maha Tahu, karena tahu apa yang sebenarnya aku butuhkan pada saat situasi itu datang. Karena pada saat aku merasa jenuh pada kegiatan rutin yang sepertinya tak ada habisnya, selalu ada saja seseorang yang dikirim oleh Allah Swt untuk datang kepadaku. Tentu saja mereka datang dengan semua "keluhannya". Keluhan yang dilontarkan kepadaku ternyata membuatku "sadar”. Sadar untuk men-charge energi yang melemah. Sadar untuk tidak menjenuhkan diri. Karena keadaanku ternyata lebih beruntung di banding mereka. Rasa syukur yang seperti tergantung di balik hati, ternyata perlu di pindah ke relung hati.

AnsopiY ..

Selasa, 19 Oktober 2010

Embun Pagi

Biarkan aku berdiam diri
berpasrah menepi..
meratapi menghindari peri-peri.


Pagi lagi
tanpa sendumu
aku bebas!
namun mati tetap ada di hati
tapi pergilah dirimu jauh
biarkan
pelangi mewarnai
warna-warna hati


aku mau..


suka cita.


aku ingin..


bahagia.


aku butuh..


CINTA.


di Pagi INI !


AnsopiY ..

Senin, 18 Oktober 2010

Menjual Keperawanan

Siapa yang mau hidup miskin? Tidak seorangpun! Apapun alasannya, marilah kita bekerja dengan kesungguhan hati agar kisah ini tidak pernah terjadi.


Wanita itu berjalan agak ragu memasuki hotel berbintang lima . Sang petugas satpam yang berdiri di samping pintu hotel menangkap kecurigaan pada wanita itu. Tapi dia hanya memandang saja dengan awas ke arah langkah wanita itu yang kemudian mengambil tempat duduk di lounge yang agak di pojok. Petugas satpam itu memperhatikan sekian lama, ada sesuatu yang harus dicurigainya terhadap wanita itu. Karena dua kali waiter mendatanginya tapi, wanita itu hanya menggelengkan kepala. Mejanya masih kosong. Tak ada yang dipesan. Lantas untuk apa wanita itu duduk seorang diri. Adakah seseorang yang sedang ditunggunya. Petugas satpam itu mulai berpikir bahwa wanita itu bukanlah tipe wanita nakal yang biasa mencari mangsa di hotel ini. Usianya nampak belum terlalu dewasa. Tapi tak bisa dibilang anak-anak. Sekitar usia remaja yang tengah beranjak dewasa. Setelah sekian lama, akhirnya memaksa petugas satpam itu untuk mendekati meja wanita itu dan bertanya:

” Maaf, nona … Apakah anda sedang menunggu seseorang? “

” Tidak!’‘ Jawab wanita itu sambil mengalihkan wajahnya ke tempat lain.

” Lantas untuk apa anda duduk di sini?”

“Apakah tidak boleh?” Wanita itu mulai memandang ke arah sang petugas satpam..

” Maaf, Nona. Ini tempat berkelas dan hanya diperuntukan bagi orang yang ingin menikmati layanan kami.”

“Maksud, bapak?”

“Anda harus memesan sesuatu untuk bisa duduk disini”

“Nanti saya akan pesan setelah saya ada uang. Tapi sekarang, izinkanlah saya duduk di sini untuk sesuatu yang akan saya jual,” Kata wanita itu dengan suara lambat.

“Jual? Apakah anda menjual sesuatu di sini?”

Petugas satpam itu memperhatikan wanita itu. Tak nampak ada barang yang akan dijual. Mungkin wanita ini adalah pramuniaga yang hanya membawa brosur.

“Ok, lah. Apapun yang akan anda jual, ini bukanlah tempat untuk berjualan. Mohon mengerti.”

“Saya ingin menjual diri saya,” Kata wanita itu dengan tegas sambil menatap dalam-dalam kearah petugas satpam itu.Petugas satpam itu terkesima sambil melihat ke kiri dan ke kanan.

“Mari ikut saya,” Kata petugas satpam itu memberikan isyarat dengan tangannya.

Wanita itu menangkap sesuatu tindakan kooperativ karena ada secuil senyum di wajah petugas satpam itu. Tanpa ragu wanita itu melangkah mengikuti petugas satpam itu. Di koridor hotel itu terdapat kursi yang hanya untuk satu orang. Disebelahnya ada telepon antar ruangan yang tersedia khusus bagi pengunjung yang ingin menghubungi penghuni kamar di hotel ini. Di tempat inilah deal berlangsung.

“Apakah anda serius?”

“ Saya serius” Jawab wanita itu tegas.

“ Berapa tarif yang anda minta? “

“ Setinggi-tingginya. .”

“ Mengapa?” Petugas satpam itu terkejut sambil menatap wanita itu.

“ Saya masih perawan”

“ Perawan?”

Sekarang petugas satpam itu benar-benar terperanjat. Tapi wajahnya berseri. Peluang emas untuk mendapatkan rezeki berlebih hari ini.. Pikirnya

"Bagaimana saya tahu anda masih perawan?”

“Gampang sekali. Semua pria dewasa tahu membedakan mana perawan dan mana bukan.. Ya kan …”

“Kalau tidak terbukti?”

“ Tidak usah bayar …”

“ Baiklah … “

Petugas satpam itu menghela napas. Kemudian melirik ke kiri dan ke kanan.

“Saya akan membantu mendapatkan pria kaya yang ingin membeli keperawanan anda.”

“Cobalah. “

“Berapa tarif yang diminta?”

“Setinggi-tingginya.”

“Berapa?”

“Setinggi-tingginya. Saya tidak tahu berapa?”

“Baiklah. Saya akan tawarkan kepada tamu hotel ini. Tunggu sebentar ya.”

Petugas satpam itu berlalu dari hadapan wanita itu. Tak berapa lama kemudian, petugas satpam itu datang lagi dengan wajah cerah.

“Saya sudah dapatkan seorang penawar. Dia minta Rp. 5 juta.. Bagaimana?”

“Tidak adakah yang lebih tinggi?”

“Ini termasuk yang tertinggi,” Petugas satpam itu mencoba meyakinkan.

"Saya ingin yang lebih tinggi…”

Baiklah. Tunggu disini …”

Petugas satpam itu berlalu. Tak berapa lama petugas satpam itu datang lagi dengan wajah lebih berseri.

“Saya dapatkan harga yang lebih tinggi. Rp. 6 juta rupiah. Bagaimana?”

“Tidak adakah yang lebih tinggi?”

Nona, ini harga sangat pantas untuk anda. Cobalah bayangkan, bila anda diperkosa oleh pria, anda tidak akan mendapatkan apa apa. Atau andai perawan anda diambil oleh pacar anda, andapun tidak akan mendapatkan apa apa, kecuali janji. Dengan uang Rp. 6 juta anda akan menikmati layanan hotel berbintang untuk semalam dan keesokan paginya anda bisa melupakan semuanya dengan membawa uang banyak. Dan lagi, anda juga telah berbuat baik terhadap saya. Karena saya akan mendapatkan komisi dari transaksi ini dari tamu hotel. Adilkan. Kita sama-sama butuh …”

“Saya ingin tawaran tertinggi …” Jawab wanita itu, tanpa peduli dengan celoteh petugas satpam itu.
Petugas satpam itu terdiam. Namun tidak kehilangan semangat.

“Baiklah, saya akan carikan tamu lainnya. Tapi sebaiknya anda ikut saya. Tolong kancing baju anda disingkapkan sedikit. Agar ada sesuatu yang memancing mata orang untuk membeli.” Kata petugas satpam itu dengan agak kesal. Wanita itu tak peduli dengan saran petugas satpam itu tapi tetap mengikuti langkah petugas satpam itu memasuki lift. Pintu kamar hotel itu terbuka. Dari dalam nampak pria bermata sipit agak berumur tersenyum menatap mereka berdua.

“Ini yang saya maksud, tuan. Apakah tuan berminat?” Kata petugas satpam itu dengan sopan.
Pria bermata sipit itu menatap dengan seksama ke sekujur tubuh wanita itu…

“Berapa?” Tanya pria itu kepada Wanita itu.

“Setinggi-tingginya” Jawab wanita itu dengan tegas.

“Berapa harga tertinggi yang sudah ditawar orang?” Kata pria itu kepada sang petugas satpam.
Rp.. 6 juta, tuan”

“Kalau begitu saya berani dengan harga Rp. 7 juta untuk semalam.”

Wanita itu terdiam. Petugas satpam itu memandang ke arah wanita itu dan berharap ada jawaban bagus dari wanita itu.

“Bagaimana?” tanya pria itu.

“Saya ingin lebih tinggi lagi …” Kata wanita itu.

Petugas satpam itu tersenyum kecut.

“Bawa pergi wanita ini.” Kata pria itu kepada petugas satpam sambil menutup pintu kamar dengan keras.

“Nona, anda telah membuat saya kesal. Apakah anda benar benar ingin menjual?”

“Tentu!”

“Kalau begitu mengapa anda menolak harga tertinggi itu …”

“Saya minta yang lebih tinggi lagi …”

Petugas satpam itu menghela napas panjang. Seakan menahan emosi. Dia pun tak ingin kesempatan ini hilang. Dicobanya untuk tetap membuat wanita itu merasa nyaman bersamanya.

“Kalau begitu, kamu tunggu di tempat tadi saja, ya. Saya akan mencoba mencari penawar yang lainnya.”

Di lobi hotel, petugas satpam itu berusaha memandang satu per satu pria yang ada. Berusaha mencari langganan yang biasa memesan wanita melaluinya. Sudah sekian lama, tak ada yang nampak dikenalnya. Namun, tak begitu jauh dari hadapannya ada seorang pria yang sedang berbicara lewat telepon genggamnya.

“Bukankah kemarin saya sudah kasih kamu uang 25 juta Rupiah. Apakah itu tidak cukup?” Terdengar suara pria itu berbicara. Wajah pria itu nampak masam seketika

“Datanglah kemari. Saya tunggu. Saya kangen kamu. Kan sudah seminggu lebih kita engga ketemu, ya sayang?!”

Kini petugas satpam itu tahu, bahwa pria itu sedang berbicara dengan wanita. Kemudian, dilihatnya, pria itu menutup teleponnya. Ada kekesalan di wajah pria itu.
Dengan tenang, petugas satpam itu berkata kepada Pria itu:

“Pak, apakah anda butuh wanita …”
Pria itu menatap sekilas kearah petugas satpam dan kemudian memalingkan wajahnya.

“Ada wanita yang duduk disana,” Petugas satpam itu menujuk kearah wanita tadi.

Petugas satpam itu tak kehilangan akal untuk memanfaatkan peluang ini.

“Dia masih perawan..”

Pria itu mendekati petugas satpam itu. Wajah mereka hanya berjarak setengah meter.
“Benarkah itu?”
“Benar, pak.”

“Kalau begitu kenalkan saya dengan wanita itu … “

“Dengan senang hati. Tapi, pak …Wanita itu minta harga setinggi tingginya.”

“Saya tidak peduli … “ Pria itu menjawab dengan tegas.

Pria itu menyalami hangat wanita itu.

“Bapak ini siap membayar berapapun yang kamu minta. Nah, sekarang seriuslah ….” Kata petugas satpam itu dengan nada kesal.

“Mari kita bicara di kamar saja.” Kata pria itu sambil menyisipkan uang kepada petugas satpam itu.
Wanita itu mengikuti pria itu menuju kamarnya. Di dalam kamar …

“Beritahu berapa harga yang kamu minta?”

“Seharga untuk kesembuhan ibu saya dari penyakit”

“Maksud kamu?”

“Saya ingin menjual satu satunya harta dan kehormatan saya untuk kesembuhan ibu saya. Itulah cara saya berterima kasih ….”

“Hanya itu …??”

“Ya …!”

Pria itu memperhatikan wajah wanita itu. Nampak terlalu muda untuk menjual kehormatannya. Wanita ini tidak menjual cintanya. Tidak pula menjual penderitaannya.. Tidak! Dia hanya ingin tampil sebagai petarung gagah berani di tengah kehidupan sosial yang tak lagi gratis. Pria ini sadar, bahwa di hadapannya ada sesuatu kehormatan yang tak ternilai. Melebihi dari kehormatan sebuah perawan bagi wanita. Yaitu keteguhan untuk sebuah pengorbanan tanpa ada rasa sesal. Wanta ini tidak melawan gelombang laut melainkan ikut kemana gelombang membawa dia pergi. Ada kepasrahan diatas keyakinan tak tertandingi. Bahwa kehormatan akan selalu bernilai dan dibeli oleh orang terhormat pula dengan cara-cara terhormat.

“Siapa nama kamu?”

“Itu tidak penting. Sebutkanlah harga yang bisa bapak bayar …” Kata wanita itu

“Saya tak bisa menyebutkan harganya.. Karena kamu bukanlah sesuatu yang pantas ditawar.”

“Kalau begitu, tidak ada kesepakatan!”

“Ada !” Kata pria itu seketika.

“Sebutkan!”

“Saya membayar keberanianmu. Itulah yang dapat saya beli dari kamu. Terimalah uang ini. Jumlahnya lebih dari cukup untuk membawa ibumu ke rumah sakit. Dan sekarang pulanglah …” Kata pria itu sambil menyerahkan uang dari dalam tas kerjanya.

“Saya tidak mengerti …”

“Selama ini saya selalu memanjakan istri simpanan saya. Dia menikmati semua pemberian saya tapi dia tak pernah berterima kasih. Selalu memeras. Sekali saya memberi maka selamanya dia selalu meminta. Tapi hari ini, saya bisa membeli rasa terima kasih dari seorang wanita yang gagah berani untuk berkorban bagi orang tuanya. Ini suatu kehormatan yang tak ada nilainya bila saya bisa membayar …”

“Dan, apakah bapak ikhlas…?”

“Apakah uang itu kurang? “

“Lebih dari cukup, pak …”

“Sebelum kamu pergi, boleh saya bertanya satu hal?”

“Silahkan …”

“Mengapa kamu begitu beraninya …”

“Siapa bilang saya berani. Saya takut pak … Tapi lebih dari seminggu saya berupaya mendapatkan cara untuk membawa ibu saya ke rumah sakit dan semuanya gagal. Ketika saya mengambil keputusan untuk menjual kehormatan saya maka itu bukanlah karena dorongan nafsu. Bukan pula pertimbangan akal saya yang `bodoh` … Saya hanya bersikap dan berbuat untuk sebuah keyakinan …”
“Keyakinan apa?”

“Jika kita ikhlas berkorban untuk ibu atau siapa saja, maka Tuhan lah yang akan menjaga kehormatan kita …”

Wanita itu kemudian melangkah keluar kamar. Sebelum sampai di pintu wanita itu berkata:
“Lantas apa yang bapak dapat dari membeli ini …”
“Kesadaran… “

….
Di sebuah rumah di pemukiman kumuh. Seorang ibu yang sedang terbaring sakit dikejutkan oleh dekapan hangat anaknya.

“Kamu sudah pulang, nak”

“Ya, bu …”

“Kemana saja kamu, nak …”

“Menjual sesuatu, bu …”

“Apa yang kamu jual?” Ibu itu menampakkan wajah keheranan.

Tapi wanita muda itu hanya tersenyum … Hidup sebagai yatim lagi miskin terlalu sia-sia untuk diratapi di tengah kehidupan yang serba pongah ini. Di tengah situasi yang tak ada lagi yang gratis. Semua orang berdagang. Membeli dan menjual adalah keseharian yang tak bisa dielakan. Tapi Tuhan selalu memberi tanpa pamrih, tanpa perhitungan

“Kini saatnya ibu untuk berobat …”

Digendongnya ibunya dari pembaringan, sambil berkata:
“Tuhan telah membeli yang saya jual… “

Taksi yang tadi ditumpanginya dari hotel masih setia menunggu di depan rumahnya. Dimasukannya ibunya ke dalam taksi dengan hati-hati dan berkata kepada supir taksi: “Antar kami kerumah sakit …”

Cp ..

Selalu Terdengar Baru

Hidup dengan sahabat menjadikan hidupku lebih berwarna. Tidak hanya sekadar warna-warna keceriaan, tapi juga warni-warni kesalahan dalam kesedihan. Hidupku dengan sahabatku adalah warna-warni.
***

Seorang sahabatku, sekitar beberapa hari yang lalu bercerita tentang kehidupannya yang tak pernah aku sangka sangat memiriskan hati. Siapa yang mengira dalam keceriaan tertanam kesedihan yang begitu mendalam? Diri seorang pejuang, apa memang harus seperti itu? Mempertunjukkan kebahagiaan pada orang lain dan menanam kesedihan dalam diri sendiri.

Lantas, cerita kehidupannya pun terus mengalir. Ada tutur haru, sendu, malu, dan ragu. Kisahnya cukup klasik, soal masalah keluarga. Tapi kenapa hal yang klasik ada di jaman modern seperti ini? Itu masalahnya. Tak habis pikir diriku menelaah ceritanya.

Aku pikir hanya sinetron saja yang menayangkan kisah ironi seperti itu. Tapi Tuhan pun menunjukkannya padaku. Dan itu terjadi pada temanku.
***

Ada sebuah kesadaran lagi. Kadang masalah yang kita hadapi tidaklah terlalu berat bila kita bandingkan dengan masalah orang lain. Hanya masalahnya kita jarang melihat itu.

Kita harus bisa menatap tinggi hidup kita tapi tetap harus berpijak pada bumi. Di dunia ini selalu ada sesuatu yang lebih dari kita. Lebih sulit, lebih rumit, lebih lemah atau lebih besar, lebih jauh, lebih tinggi, dan lebih.. lebih.. Ingat saja peribahasa Di atas langit masih ada langit dan bisa jadi di bawah bumi masih ada ruang-ruang kosong. Mungkin itu kelihatan seperti nasehat lama, tapi sesungguhnya akan selalu terdengar baru saat kita sadar di mana posisi kita.

AnsopiY ..